Artikel Jakob Oetama – Kelompok 6

Jakob Oetama: Kompas Moral di Era Disrupsi Digital

Di sebuah era terjadinya krisis kepercayaan publik dan degradasi moral kehidupan berbangsa, terutama ketika kebebasan pers dan etika jurnalistik sedang diuji oleh gelombang disrupsi digital yang menghantam industri dan konsentrasi kepemilikan media, Jakob Oetama justru memilih menjadi sosok yang mempraktikkan kerendahan hati, humanisme, dan prinsip Vinsensian. Sikap itu kontras dengan praktik kontemporer dan sekaligus menyorot karakter kepemimpinan yang menekankan kerendahan hati dan pelayanan. Oleh karena itu, nilai-nilai hidup Jakob Oetama justru semakin relevan sebagai penuntun moral bagi masyarakat Indonesia, khususnya penekanannya pada kebenaran, pelayanan kepada kaum marginal, dan integritas dalam berkarya, dengan syarat, nilai-nilai tersebut dapat diterjemahkan secara sistematis menjadi kebijakan organisasi, praktik jurnalistik, dan program sosial yang terukur.

Jakob Oetama lahir dari keluarga Katolik dan sepanjang kariernya nilai kebenaran yang dipegang Jakob Oetama bersumber pada prinsip Alkitab, khususnya Yohanes 8:32: “Dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” Dalam konteks jurnalistik, Oetama menerapkan ini melalui pelayanan publik yang menempatkan keadilan, belas kasih, dan kerendahan hati sebagai prinsip kerja, serta independensi media, yang menjadi fondasi Harian Kompas. Dengan demikian, ayat-ayat ini tidak hanya relevan, tetapi dapat menjadi referensi normatif ketika organisasi media mengartikulasikan fungsi sosialnya dan penangkal esensial terhadap disinformasi.

Sebagai seorang Katolik, Oetama dapat dikatakan mewarisi semangat St. Vincent de Paul yang berfokus pada pelayanan kepada kaum lemah dan terpinggirkan dan bukan sekadar transaksi filantropi. Dalam konteks kebangsaan, ini tercermin dari komitmennya untuk memublikasikan isu-isu pedesaan, pendidikan, dan keadilan sosial. Nilai ini relevan untuk konteks Indonesia yang masih menghadapi ketimpangan sosial. Hal ini dibuktikan dengan Kompas Gramedia dibawah pimpinan Oetama kerap meluncurkan rubrik khusus seperti “Suara Desa” dan program literasi untuk masyarakat marginal. Apabila media dan korporasi media mengadopsi semangat Vinsensian, program tanggung jawab sosial, pemberitaan kemiskinan, dan advokasi kebijakan dapat diarahkan untuk memperkuat martabat warga terdampak, bukan memanfaatkan penderitaan sebagai narasi sensasional. Selain itu, nilai ini selaras dengan semangat Pancasila, khususnya Sila Kedua (“Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”) dan Sila Kelima (“Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”). Oleh karena itu, implementasi nilai Vinsensian ini bukan hanya relevan, tetapi menjadi dasar untuk membangun inklusivitas di tengah kesenjangan digital dan ekonomi.

Integritas pribadi Oetama, yang dibangun dari disiplin spiritual dan etos kerja, tercermin dalam komitmennya untuk tidak menerima suap atau intervensi politik dalam pemberitaan. Hal ini dapat diamati dari buku Jakob Oetama: Dialog dengan Peradaban (2011) menunjukkan bahwa ia kerap menekankan: “Kebenaran itu sendiri tidak cukup, cara menyampaikan kebenaran pun harus benar.” Pendapat ini sejalan dengan teori relevansi dalam komunikasi (Sperber dan Wilson, 1986) yang menekankan bahwa pesan harus disampaikan dengan mempertimbangkan konteks dan kejujuran. Selain itu, Jakob Oetama sendiri mengimplementasikannya melalui tugas pers sebagai pilar demokrasi agar praktik-praktik etis berdampak pada kualitas kehidupan berbangsa. Lebih jauh, hal tersebut selaras dengan UUD 1945 Pasal 28E tentang kebebasan berekspresi yang bertanggung jawab. Dengan demikian, integritas Oetama sebagai tokoh pers Indonesia telah dibuktikan melalui pembentukan opini publik dan pengawasan terhadap penyelenggaraan negara.

Nilai-nilai Oetama dapat diimplementasikan melalui kebijakan sistematis, seperti integrasi etika jurnalistik dan kewargaan digital dalam kurikulum pendidikan. Fakta terkini dari Permendikdasmen Nomor 13 Tahun 2025 mengamanatkan penguatan pembelajaran mendalam dan penambahan mata pelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial yang berorientasi pada etika teknologi. Selain itu, regulasi seperti PMK Nomor 5/PMK.010/2020 tentang pembebasan PPN untuk buku pelajaran dan kitab suci dapat diperluas untuk mendukung literasi media berbasis nilai. Oleh karena itu, kolaborasi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat sipil perlu didorong untuk mengadopsi nilai-nilai ini dalam praktik nyata.

Selanjutnya, Kompas Gramedia dapat mengembangkan modul rutin yang memadukan etika jurnalistik modern dengan prinsip pelayanan kepada kaum marginal, serta menyelenggarakan lokakarya tahunan dan program mentoring redaksional. Kedua, kebijakan redaksional harus menempatkan martabat manusia sebagai prioritas utama, dengan menerapkan pedoman pemberitaan yang menghormati narasumber rentan, menghindari sensasionalisme, dan mengedepankan solusi substantif. Kebijakan ini perlu didukung oleh transparansi kepemilikan untuk memastikan independensi. Ketiga, program sosial berbasis pemberdayaan ala Vinsensian, seperti pelatihan usaha mikro dan advokasi kebijakan lokal perlu digalakkan untuk menciptakan dampak berkelanjutan. Selain itu, media harus aktif dalam advokasi kebijakan publik berbasis bukti dengan memanfaatkan jurnalisme data dan kajian mendalam, sesuai peran pers sebagai penjaga kepentingan publik. Terakhir, mekanisme akuntabilitas internal, seperti dewan etik independen dan forum dialog publik harus dibentuk untuk memastikan praktik media tetap sejalan dengan nilai-nilai yang diikrarkan. Langkah-langkah ini tidak hanya merefleksikan warisan Oetama, tetapi juga memperkuat peran media sebagai pilar demokrasi dan keadilan sosial.

Dengan demikian, warisan nilai Jakob Oetama yang berlandaskan prinsip agama Katolik, semangat Vinsensian, dan komitmen kebangsaan merupakan pedoman praktis yang masih sangat relevan dan justru semakin imperatif bagi kehidupan berbangsa di era disrupsi digital. Nilai-nilai kebenaran, pelayanan kepada kaum marginal, dan integritas yang ia hidupi harus menjadi fondasi etis bagi media, pemerintah, dan masyarakat sipil untuk membangun ekosistem informasi yang sehat dan inklusif.

Oleh karena itu, langkah konkret berupa integrasi etika jurnalistik ke dalam kurikulum pendidikan, penguatan kebijakan redaksional berbasis martabat manusia, serta pengembangan program pemberdayaan berkelanjutan merupakan keniscayaan yang harus diupayakan secara kolektif. Media harus berani menempatkan pelayanan publik dan independensi di atas kepentingan komersial, sementara pemerintah perlu memperluas kebijakan pendukung seperti pembebasan PPN untuk literasi media.

Harapannya, dengan mentransformasikan nilai-nilai Oetama menjadi praktik kelembagaan yang sistematis dan terukur, kita dapat memperkuat pilar demokrasi, mengembalikan kepercayaan publik, dan menciptakan tatanan masyarakat Indonesia yang lebih adil, beradab, dan berbelas kasih.

Anggota Kelompok 6:
● Genevieve Laura Santoso/08
● Justin Morgan Hariyanto/16
● Lana Quinn Soetedjo/20
● Reinhart Christopher Soehartono/28
● Shawn Olen Lestarijono/32

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *