Esai Gabriel Manek – Kelompok 1

Mgr. Gabriel Yohanes Wilhelmus Manek, S.V.D. atau biasanya dipanggil Gabriel Manek, adalah seorang imam dan uskup Indonesia yang lahir pada tanggal 18 Agustus 1913. Gabriel Manek dikenal sebagai Uskup kaum miskin (Bishop of the Poor) dan menjadi uskup pribumi kedua di Indonesia setelah Mgr. Albertus Soegijapranata, S.J. Ia menjabat sebagai Uskup Larantuka sebelum kemudian menjadi Uskup Agung Ende, hingga ia mengundurkan diri dan menjadi Uskup Agung Emeritus. Gabriel Manek merupakan anak laki-laki bungsu dari pasangan Yohanes Leki (Lay Phiang Soe) dan Lioe Kioe Moy yang memiliki darah campuran Tionghoa. Satu hari setelah kelahirannya, Gabriel Manek dibaptis menggunakan nama Gabriel Yohanes Wilhelmus Manek oleh romo R.P Arnold Verstraelen.  Setelah pembaptisan itu, ayah Gabriel Manek masih berada di Tiongkok dan ibunya meninggal tidak lama setelah pembaptisan itu. Gabriel Manek diadopsi oleh Maria Belak yang merupakan istri dari raja Kerajaan Tasifeto. Pada tahun 1920, Gabriel mulai menjalani pendidikan di Halilulik Standard School di Ndona dan dilanjutkan di Schakelschool Ndao, Flores, lalu di Seminari Sikka pada tahun 1927. Ia melanjutkan studi lanjutnya di kuliah Seminari Tinggi Ledalero, dan lulus sebagai angkatan pertama setelah menyampaikan kaul pertamanya. Tepat satu bulan setelah ia menyampaikan kaul tersebut, Gabriel menerima tahbisan diakon, ia ditahbiskan sebagai imam pada tanggal 28 Januari 1941, oleh Mgr. Hendrikus Leven di Gereja Nita, Maumere. Gabriel menjadi imam pribumi pertama di NTT bersama dengan R.P Carolus Kale Bale, S.V.D.  

Sebagai imam muda, ia bekerja sebagai pastor pembantu di Paroki Nita, Flores. Ketika masa penjajahan Jepang, ia bekerja sebagai imam di seluruh daerah Flores Timur, khususnya di Pulau Alor dan Pantar, karena mayoritas imam diinternir. Akhirnya, ia bertugas di Lahurus dan terlibat dalam dunia politik atas izin dari gereja. Pada saat itu, Gabriel bertugas sebagai Anggota Pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berkedudukan di Kefamenanu. Keyakinan yang Gabriel selalu percayai adalah menyapa setiap umat secara personal, mengenal mereka, memperhatikan persoalan yang mereka sedang hadapi dan mencari upaya untuk meningkatkan kualitas iman mereka. Sebagai salah satu pastor pribumi di Nusa Tenggara, Manek dikenal sebagai pastor yang dermawan, rendah hati, dan penuh perhatian terhadap kaum miskin dan terpinggirkan. 

Gabriel Manek sangat aktif “turun ke lapangan” dengan cara menyeberangi untuk menyapa umat yang jauh dan sulit dijangkau. Pendekatan Gabriel ini menunjukkan bahwa ia tidak hanya mengurusi gereja di pusat, tetapi juga mendatangi, menyapa, dan memperhatikan umat dalam kondisi mereka. Karakternya sebagai pemimpin yang menyatu dengan umat, memperkuat citra sebagai gembala Tuhan Yesus yang merangkul yang miskin dan terpinggirkan oleh dunia. Gelar “Bishop of the Poor” diakui melalui kesaksian umat dan media, termasuk orang-orang non-lokal seperti orang asli Indian di Amerika setelah masa pengungsian atau ketika ia tinggal/pindah ke AS sebagai Uskup Emeritus. Mereka dapat merasakan Gabriel sebagai sahabat umat kecil dan terpinggirkan, bukan hanya semata pemimpin gereja formal. 

Gabriel Manek meninggal pada 30 November 1989 si RS St. John, Lakewood, Denver, Amerika Serikat. Jenazahnya dimakamkan di Techny, Amerika Serikat pada 5 Desember 1989. Namun, makam dari Gabriel akhirnya digali kembali pada 10 April 2007. Jenazah serta peti matinya masih utuh meskipun sudah terkubur selama 17 tahun lamanya, walaupun tubuhnya tidak diawetkan. Jenazah akhirnya tiba di Kupang pada 18 April 2007, dan pada 25 April jenazah Gabriel dimakamkan kembali di Biara PRR. Hingga saat ini, jenazahnya disemayamkan dalam Kapel Induk di Biara Pusat tarekat PRR di Larantuka. Kapel ini diberkati oleh Uskup Atambua bernama Dominikus Saku pada 15 Agustus 2012, dan makam ini menjadi objek wisata rohani di wilayah Larantuka. 

Mgr. Gabriel Yohanes Wilhelmus Manek, S.V.D. adalah sosok gembala yang tidak hanya memimpin dari balik meja, tetapi juga hadir secara nyata di tengah umatnya. Perjalanan hidupnya yang penuh pengorbanan, mulai dari masa kecil hingga menjadi uskup, menunjukkan komitmennya untuk melayani kaum miskin, terpencil, dan terpinggirkan. Gelar “Bishop of the Poor” yang disandangnya bukan hanya penghormatan, tetapi cerminan dari hidupnya yang merangkul semua orang tanpa memandang status. Warisan pelayanan dan keteladanannya terus hidup hingga kini, terbukti dari penghormatan umat dan ziarah ke makamnya yang menjadi sumber inspirasi dan kekuatan iman bagi banyak orang di Nusa Tenggara dan Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *