Oleh:
Genevieve Laura Santoso/08
Justin Morgan Hariyanto/16
Lana Quinn Soetedjo/20
Reinhart Christopher Soehartono/28
Shawn Olen Lestarijono/32
Kejujuran, Humanisme, dan Keberanian Jakob Oetama
Jakob Oetama adalah salah satu tokoh pers paling berpengaruh di Indonesia, pendiri Harian Kompas dan kelompok Kompas Gramedia yang perhatiannya terhadap kehidupan kebangsaan tampak jelas lewat tulisan dan kepemimpinannya. Sejak memutuskan menjadi wartawan pada 1961 dengan tujuan mendidik masyarakat, beliau secara konsisten menulis tajuk rencana untuk menyuarakan pandangan publik dan menegakkan etika jurnalistik. Tajuk-tajuknya yang teratur (dua hingga tiga hari sekali) menjadi ruang refleksi bagi pembaca tentang isu pemerintahan, ekonomi, kebudayaan, dan keadilan sosial. Dalam tulisan seperti “Apakah Kita Sepaham, yang Kita Hadapi Adalah Krisis Kebangsaan” (1998), Jakob Oetama mengkritik kekeliruan interpretasi dan praktek dalam menjalankan falsafah negara yaitu Pancasila dan UUD 1945, serta penyalahgunaan kekuasaan pada masa Orde Baru. Beliau mengingatkan bahwa krisis kebangsaan ibarat rumah bersama yang terbakar dan api itu harus dipadamkan bersama-sama bukan oleh masing-masing pihak. Jakob Oetama tidak hanya mempertahankan kebebasan pers, praktik dan kritiknya terhadap penyalahgunaan kekuasaan mencerminkan nilai integritas dan keadilan.
Lahir 27 September 1931 di Borobudur, Magelang, Jakob Oetama menempuh perjalanan hidup dari era kolonial ke masa kemerdekaan, Orde Baru, dan reformasi. Pengalaman historis beliau membentuk pandangannya tentang peran media dalam negara. Setelah memilih menjadi wartawan, Jakob Oetama mendirikan majalah Intisari dan kemudian Harian Kompas, menjadikan media-media tersebut bukan sekadar usaha bisnis tetapi sarana pendidikan publik, penjaga dialog kebangsaan, dan pengangkat isu-isu kemanusiaan. Peran Jakob Oetama meliputi menegakkan nilai Pancasila dalam wacana publik, mempertahankan kebebasan pers dengan sikap moderat di tengah tekanan politik, menyediakan ruang literasi dan pendidikan bagi masyarakat, serta mendorong penyelesaian konflik melalui dialog dan musyawarah. Sikap humanisnya mengedepankan keadilan sosial, integritas jurnalistik, dan tanggung jawab publik, menjadikannya saksi dan tokoh penting dalam transformasi kebangsaan dari kemerdekaan hingga era reformasi.

Kejujuran merupakan salah satu nilai utama yang tampak dalam kepemimpinan jurnalistik Jakob Oetama. Beliau menegaskan pers tidak boleh berlandaskan atas dasar rasa suka atau tidak suka serta tidak boleh digunakan sebagai media kepentingan pribadi tetapi harus dikerjakan secara serius, jujur, benar, dan profesional. Pernyataan ini memperlihatkan komitmen praktis Jakob Oetama terhadap transparansi dan kebenaran dalam pemberitaan karena beliau menempatkan standar etika sebagai dasar kerja redaksional bukan sebagai alat kekuasaan politik atau keuntungan kelompok. Sikap beliau yang menegakkan kebenaran selaras dengan ayat Amsal 11:3, “Kejujuran orang benar menuntun mereka, tetapi kecurangan orang fasik menghancurkan mereka,” yang menegaskan bahwa hidup dalam kejujuran memberi petunjuk dan keselamatan, sedangkan kecurangan berujung pada kehancuran. Sama halnya dengan teladan tokoh Daniel yang tetap teguh mempertahankan kebenaran dan keadilan meski menghadapi tekanan penguasa (Daniel 6), Jakob Oetama menunjukkan integritas melalui keberanian jurnalistiknya sehingga kejujuran menjadi bukti ketaatan moral. Kejujuran seperti itu terkait erat dengan keutamaan Vinsensian kesederhanaan, sebab kesederhanaan tidak hanya berarti hidup tanpa kemewahan dan ambisi pribadi, tetapi juga berpegang pada kebenaran dengan hati yang jujur. Dengan demikian, tindakan jurnalistik diarahkan pada sarana mendidik dan melayani masyarakat, bukan pada glorifikasi diri atau keuntungan materi.
Selain itu, penghormatan terhadap martabat manusia menempati fokus utama dalam pemikiran Jakob Oetama. “Manusia bukanlah objek tetapi sebagai subjek” merupakan pernyataan ringkas yang menggambarkan sikap redaksionalnya. Beliau memandang pers sebagai wadah untuk menampung suara rakyat dan bukan sekadar alat kepentingan. Bukti praktiknya tampak dalam program-program Kompas yang mengangkat keberagaman dan potensi daerah melalui ekspedisi Nusantara serta liputan mendalam yang memberi ruang kepada suara lokal untuk didengar oleh publik yang lebih luas. Perbuatan beliau mencerminkan penghormatan terhadap martabat individu dengan memberi kesempatan bagi setiap komunitas untuk berbicara dan diperlakukan sebagai subjek dalam narasi kebangsaan, bukan sekadar objek berita. Hal ini sejalan dengan Kejadian 1:27 yang menyatakan bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah sehingga memiliki martabat yang harus dihormati. Setiap orang patut diperlakukan dengan menjunjung harkat kemanusiaan serta diberi perhatian nyata terhadap kebutuhan dan suara mereka. Perumpamaan seperti Orang Samaria yang baik hati (Lukas 10:25–37) juga relevan karena menekankan tindakan konkret untuk menghormati dan menolong sesama, sama seperti praktik jurnalistik Jakob Oetama yang mencoba memanusiakan semua orang dalam pemberitaan.
Dalam menggunakan media yang dipimpinnya, Jakob Oetama dengan berani menyampaikan kritik terhadap perilaku korupsi, kolusi, nepotisme, dan penggunaan kekuasaan yang tidak adil oleh pemerintah Orde Baru. Sikap beliau memperlihatkan keberanian moral untuk tetap menyuarakan kebenaran meskipun ada risiko besar terhadap keberlangsungan medianya di bawah tekanan rezim Orde Baru. Keputusan tersebut menunjukkan kedisiplinan diri dan komitmen untuk mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau kelompok. Tindakan nyata ini sejalan dengan keutamaan Vinsensian Mati Raga, yang menekankan latihan diri untuk tidak tunduk pada keinginan diri sendiri, melainkan berani berkorban demi membela kebenaran dan keadilan bagi masyarakat, khususnya mereka yang lemah dan tertindas.
Warisan Jakob Oetama menunjukkan betapa pentingnya pers sebagai sarana pendidikan publik dan penjaga nilai kebangsaan. Kepemimpinannya menampilkan komitmen terhadap kejujuran jurnalistik, penghormatan pada martabat manusia, dan keberanian moral dalam mengkritik penyalahgunaan kekuasaan demi keadilan sosial. Nilai-nilai tersebut tidak berhenti pada wacana, melainkan tampak nyata dalam pemberitaan yang jujur, program literasi yang mendidik masyarakat, serta sikap berani menghadapi tekanan politik. Dengan demikian, selain memperjuangkan kebebasan pers, Jakob Oetama juga memberi teladan etis bagi warga negara melalui integritas kerja, penghormatan terhadap sesama, dan kesediaan berkorban demi kepentingan umum. Implikasinya, masyarakat dan pelaku media hendaknya terus menegakkan etika, mendukung ruang publik yang jujur, serta mengutamakan dialog demi kebaikan bersama. Meneladani sikap tersebut berarti ikut serta membangun kehidupan berbangsa yang lebih adil dan bermartabat.
Leave a Reply