
Frans Seda dan Relevansi Nilai-Nilainya bagi Indonesia Hari Ini
Di tengah berbagai persoalan yang dihadapi Indonesia saat ini, kualitas kepemimpinan semakin sering dipertanyakan. Korupsi masih merajalela, lembaga antirasuah rutin menangkap pejabat, bahkan di tingkat menteri. Sektor pendidikan pun belum merata, sekolah-sekolah di kota besar jauh lebih maju dibandingkan di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) seperti Papua dan NTT. Perekonomian nasional masih rentan terhadap guncangan global, sementara kesenjangan sosial semakin lebar. Bahkan, satu persen kelompok terkaya menguasai hampir separuh kekayaan nasional. Di ranah politik, ruang publik justru dipenuhi oleh pencitraan, bukan gagasan nyata, sementara intoleransi dan perpecahan semakin tajam menjelang pemilu.
Krisis moral dan kepemimpinan yang melanda bangsa saat ini sesungguhnya bukan fenomena baru dalam perjalanan sejarah. Indonesia pernah berada di ambang kehancuran ekonomi dan kehilangan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Kala itu, muncul sosok yang mampu menjawab tantangan dengan integritas dan kecerdasannya. Ia adalah Frans Seda, seorang tokoh nasional, pendidik, dan tokoh Katolik yang memberikan teladan penting bagi perjalanan bangsa Indonesia. Nama Frans Seda mungkin tak sepopuler para pahlawan pergerakan kemerdekaan lainnya. Namun, apabila kita menoleh ke perjalanan bangsa pasca kemerdekaan hingga era reformasi, sosok ini tampil sebagai salah satu tokoh Katolik yang memberi pengaruh penting bagi kemajuan bangsa Indonesia.
Lahir di Maumere, Flores, pada 4 Oktober 1926, Frans Seda menempuh pendidikan ekonomi di Belanda sebelum kembali ke tanah air dan mengabdikan diri di panggung nasional. Ia dipercaya menjabat sebagai Menteri Perhubungan (1966–1968), Menteri Keuangan (1968–1973), dan Menteri Perkebunan (1973–1978). Salah satu pencapaian yang membuat namanya dikenang adalah keberhasilannya menurunkan inflasi dari 650% menjadi 112%. Prestasi itu membuatnya dijuluki “Pahlawan Keuangan Indonesia”. Namun, warisan Frans Seda tidak berhenti pada bidang ekonomi. Ia juga seorang pendidik yang beranggapan bahwa kemajuan bangsa tidak bisa ditopang oleh angka pertumbuhan saja, melainkan oleh kualitas sumber daya manusianya. Oleh karena itu, ia mendirikan Universitas Katolik Atma Jaya, salah satu universitas swasta ternama yang hingga kini melahirkan ribuan lulusan yang berkontribusi di berbagai bidang.
Ketika berbicara tentang Frans Seda, yang paling menonjol bukan hanya jabatan atau prestasinya, melainkan nilai yang ia hidupi. Salah satu hal yang paling mencolok adalah integritas moralnya. Di tengah godaan kekuasaan, ia tidak pernah tersangkut kasus korupsi. Ketika politik kerap dibayangi kolusi dan nepotisme, Frans Seda berdiri tegak menolak praktik itu. Hal tersebut relevan dengan kondisi Indonesia saat ini yang masih menghadapi masalah serius terkait korupsi. Transparency International mencatat pada tahun 2024, Indonesia berada di peringkat ke-96 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi, menunjukkan praktik kolusi dan suap masih meluas. Di era pejabat sibuk membangun citra melalui media sosial, Frans Seda membuktikan bahwa kekuasaan bisa dijalankan dengan integritas. Kepemimpinannya mengingatkan bahwa jabatan adalah amanah, bukan alat memperkaya diri. Nilai integritas ini dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dengan berani menolak segala bentuk kecurangan sekecil apapun, misalnya mencontek di sekolah ataupun memanipulasi data. Sejalan dengan itu, Kitab Suci mengingatkan, “Orang yang berjalan dengan tulus akan hidup aman, tetapi siapa yang berliku-liku jalannya akan diketahui” (Amsal 10:9).

Di samping itu, Frans Seda bekerja senyap, jauh dari sorotan kamera, berbeda dengan banyak pemimpin masa kini yang lebih fokus membangun popularitas dan citra baik daripada menyelesaikan masalah riil masyarakat. Frans Seda menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati bukanlah soal popularitas di layar kaca atau media sosial, melainkan hasil nyata yang dirasakan rakyat. Ia menjadi jembatan yang merangkul berbagai golongan, terutama di tengah meningkatnya intoleransi dan perpecahan politik menjelang pemilu. Saat banyak pejabat terjebak pada mentalitas memanfaatkan jabatan demi kepentingan pribadi, Frans Seda menegaskan bahwa jabatan adalah sarana pengabdian. Kesederhanaannya adalah pesan moral bahwa melayani rakyat seharusnya menjadi tujuan utama, bukan sekadar alat untuk memperkaya diri atau kelompok, sama seperti ajaran Yesus sendiri, “Karena Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” Semangat ini dapat diterapkan dengan mengutamakan kerja nyata daripada pencitraan, misalnya terlibat dalam kegiatan sosial, membantu teman yang kesulitan, atau berkontribusi bagi lingkungan tanpa harus selalu mencari pengakuan.
Frans Seda juga patut diteladani karena sikap toleransi dan semangat persatuan yang begitu nyata dalam hidupnya. Ia menunjukkan bahwa keberagaman bukan alasan untuk terpecah, melainkan kekuatan bangsa. Sikap moderat dan bijaksana membuatnya diterima lintas golongan, terutama pada masa reformasi ketika ia menekankan pentingnya menjaga kerukunan di tengah perbedaan. Dalam konteks saat ini, teladan Frans Seda semakin relevan ketika intoleransi, polarisasi politik, dan hoaks mudah menyulut perpecahan. Dengan belajar dari sikapnya, kita diajak untuk tidak terjebak dalam fanatisme sempit, tetapi menjadikan perbedaan sebagai jalan memperkuat persaudaraan kebangsaan, sejalan dengan firman Tuhan yang berkata, “Hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan” (Filipi 2:2). Nilai ini dapat kita terapkan dengan menghargai perbedaan, menghindari ujaran kebencian, serta aktif membangun komunikasi di tengah masyarakat yang majemuk.
Frans Seda juga menegaskan identitasnya sebagai seorang Katolik yang menghidupi nilai-nilai iman dalam dunia politik dan ekonomi. Ia percaya bahwa jabatan adalah amanah, bukan alat memperkaya diri, sejalan dengan semangat pelayanan yang diajarkan dalam tradisi Gereja. Nilai-nilai Vinsensian, seperti kesederhanaan, kerendahan hati, dan keberpihakan pada kaum kecil begitu nyata dalam tindakannya. Ia tidak hanya bekerja untuk pertumbuhan ekonomi keseluruhan, tetapi memastikan kebijakan yang diambil berdampak pada kesejahteraan rakyat. Dalam era ketika politik dan kekuasaan dijalankan tanpa dasar moral yang kuat, Frans Seda mengingatkan kita bahwa iman tidak hanya berhenti di altar, melainkan harus diwujudkan dalam tindakan yang adil dan manusiawi kepada semua orang. Sikap ini dapat kita terapkan dengan selalu rendah hati, tidak sombong atas prestasi, serta peduli kepada kelompok yang lemah atau terpinggirkan di sekitar kita. Pesan ini sejalan dengan firman, “Janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga” (Filipi 2:4).
Menghadapi tantangan zaman modern, nilai-nilai keteladanan Frans Seda dapat menjadi pedoman yang relevan untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Integritas dan kejujuran dapat diwujudkan dengan menolak segala bentuk kecurangan, misalnya tidak mencontek saat ujian, tidak melakukan manipulasi data dalam pekerjaan, atau tidak terlibat dalam praktik korupsi. Semangat pelayanan untuk kebaikan bersama dapat ditunjukkan dengan membantu teman yang kesulitan belajar, aktif dalam kegiatan sosial seperti bakti lingkungan, serta mendukung program-program kemasyarakatan. Nilai nasionalisme dapat diwujudkan dengan ikut menjaga persatuan bangsa dengan tidak menyebarkan ujaran kebencian di media sosial.
Anggota kelompok:
Axelle Dwiananta/02
Celine Josephina Adiputra/04
Jerald Russel Wihardja/14
Nichole Garner Tanuwijaya/26
Richard Valentino Effendy Tjong/29
Samuel William Winandra/31
Leave a Reply