Esai Romo Sandjaja – Kelompok 3

Perjalanan Hidup Romo Richardus Kardis Sandjaja

Richardus Kardis Sandjaja lahir pada 20 Mei 1914 di Sedan, Muntilan, Jawa Tengah, dari keluarga Katolik sederhana. Ayahnya bekerja sebagai pembantu perawat di klinik Katolik milik para misionaris Yesuit, sedangkan ibunya berasal dari keluarga Katolik yang taat. Sejak kecil, Sandjaja dikenal cerdas, rajin belajar, serta memiliki kehidupan rohani yang mendalam. Ia lebih sering mengisi waktunya dengan belajar dan berdoa, bahkan sudah terbiasa mengikuti misa harian serta berziarah ke gua Maria Sendangsono. Lingkungan religius di Muntilan semakin mendorong panggilannya untuk menjadi imam.

Setelah menyelesaikan pendidikan SMA, Sandjaja memasuki seminari dan hidup dengan kesetiaan iman. Pada 13 Januari 1943, ia ditahbiskan menjadi imam diosesan di Muntilan, lalu diutus sebagai pastor paroki. Masa pelayanannya bertepatan dengan situasi perang, sehingga banyak bangunan gereja yang rusak. Namun, dengan keteguhan iman dan dukungan umat, ia tetap tabah serta berusaha membangun kembali. Sandjaja dikenal bijaksana, sederhana, dan dekat dengan umat, sehingga kehadirannya selalu membawa penghiburan.

Pada masa pendudukan Jepang, ia sempat harus melarikan diri demi keselamatannya. Kehidupan bangsa saat itu tidaklah tenang. Gereja-gereja dirusak, harta benda umat dirampas, dan masyarakat hidup dalam ketakutan. Namun, di tengah penderitaan itu, Romo Sandjaja tetap menjalankan panggilannya. Ia memperbaiki gereja yang hancur, melayani umat dengan setia, dan mendidik calon imam dengan penuh perhatian. Ia percaya bahwa di balik semua kesulitan, Allah tetap hadir menyertai umat-Nya. Dengan imannya yang mendalam, ia memberi kekuatan rohani bagi banyak orang untuk bertahan dan tidak kehilangan harapan.

Romo Sandjaja dikenal akan pengabdiannya pada umat dan kesetiaannya pada panggilan, yang juga membuatnya bagian dari perjuangan bangsa. Dalam masa transisi menuju kemerdekaan, bangsa Indonesia tidak hanya membutuhkan pasukan di medan perang, tetapi juga sosok-sosok yang menjaga kehidupan moral dan spiritual. Romo Sandjaja adalah salah satunya. Perannya memang tidak terlihat di medan perang ataupun dunia politik, tetapi di tengah masyarakat yang membutuhkan penguatan iman dan semangat untuk bertahan. Baginya, melayani umat sama pentingnya dengan memperjuangkan bangsa, sebab tanpa iman dan harapan, perjuangan fisik pun tidak akan berarti.

Romo Sandjaja merupakan pribadi yang sederhana, tidak mengejar nama besar atau kedudukan, melainkan hadir apa adanya di tengah umat. Kesederhanaannya membuatnya dekat dengan banyak orang, mudah didekati, dan tulus dalam melayani tanpa batas. Dalam kesehariannya ia tidak pernah menempatkan dirinya lebih tinggi dari orang lain, tetapi justru berjalan bersama umat sebagai seorang gembala. Kesetiaan pada panggilan imamat membuatnya bertahan di tengah bahaya yang mengintai. Ia tahu kehadirannya bisa membahayakan, namun keberanian dan cintanya pada umat lebih kuat daripada rasa takut. Pilihan itu akhirnya mengantarkan dirinya pada jalan kemartiran, ketika pada 20 Desember 1948 ia diculik dan dibunuh. Namun kematiannya tidak memadamkan kesaksian, justru menjadi puncak dari pelayanan penuh kasih yang ia hidupi.

Sabda Yesus, “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13), sungguh nyata terpancar dalam dirinya. Dengan kerelaan berkorban, ia menunjukkan kasih yang tidak sebatas kata, tetapi benar-benar diwujudkan dalam tindakan. Kerendahan hatinya mencerminkan ajaran Yesus dalam Injil Markus, bahwa yang terbesar di antara kita adalah pelayan bagi sesama. Sementara kesetiaannya dalam penderitaan menghadirkan gambaran iman seperti ditulis dalam surat Ibrani: iman sejati teruji ketika harus melewati pencobaan. Semua itu membuat kehadiran Romo Sandjaja menjadi bukti bahwa firman Tuhan tidak berhenti di altar atau kitab, melainkan dihidupi dalam kenyataan sehari-hari.

Nilai-nilai keutamaan Vinsensian, seperti kerendahan hati, kesederhanaan, dan semangat menyelamatkan jiwa juga telah tercermin dalam pelayanannya di tengah kemelut perang. Kesederhanaan dan ketulusan hati beliau tercermin dari caranya hadir tanpa pamrih di tengah umat, tidak pernah menempatkan diri lebih tinggi, dan tetap setia melayani umat di Muntilan meskipun bahaya mengintai. Puncak spiritualitas ini adalah nilai matiraga, dimana Romo Sandjaja rela menyerahkan nyawanya sebagai martir. Tindakan pengorbanan ini menggenapi semangat Vinsensian untuk mengasihi yang menderita, sekaligus menegaskan Sabda Yesus bahwa tidak ada kasih yang lebih besar daripada memberikan nyawa bagi sahabatnya. Dengan demikian, Romo Sandjaja telah mencerminkan nilai-nilai Vinsensian, yang semangatnya harus tetap diwariskan hingga masa kini agar dapat memberikan kekuatan rohani di tengah umat manusia.

  • Grace Natalia Djohan / 11
  • Hansen Utomo / 12
  • Helena Angelica Bani / 13
  • Matthew Devin Tranggono / 23
  • Nicholas Valentino Soewono / 25
  • Yehezkiel Gerrard Tedjasukmana / 34

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *